Salah
satu ciri masyarakat kelas menengah adalah mereka memiliki disposable income
(dana sisa di luar untuk kebutuhan sandang, pangan, papan dasar) yang cukup
besar. Rule of thumbnya, 1/3 total pendapatan kelas menengah adalah disposable
income.
Dengan disposable income yang memadai mereka memiliki keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan dasar (basic needs) seperti membeli motor, TV, AC, lemari es, weekend, makan-makan sekeluarga di restoran, membawa anak-anak main di Timezone, hingga membeli mobil.
Disposable income ini seperti pisau bermata dua, di satu sisi menjadikan kelas menengah memiliki keleluasaan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, termasuk kebutuhan di luar basic needs. Tapi di sisi lain, adanya disposable income juga mendorong mereka mulai memiliki gaya hidup konsumtif.
Mereka mulai peka terhadap godaan-godaan iklan di TV. Mereka mulai gampang terpengaruh oleh rayuan diskon dan sale di mal. Celakanya, budaya konsumtif ini kemudian “difasilitasi” oleh beragam fasilitas kredit konsumsi dari bank atau lembaga pembiayaan.
Beli rumah menggunakan KPR dari bank. Beli mobil dan motor menggunakan fasilitas kredit dari lembaga pembiayaan cukup bayar uang muka Rp500.000. Beli TV flat terbaru atau furnitur di Index dicicil 12 bulan pakai kartu kredit. Kondisi inilah yang pelan tapi pasti kemudian membentuk budaya mengutang di kalangan konsumen kelas menengah. Istilah kerennya, budaya “buy now pay later”.
Dengan disposable income yang memadai mereka memiliki keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan dasar (basic needs) seperti membeli motor, TV, AC, lemari es, weekend, makan-makan sekeluarga di restoran, membawa anak-anak main di Timezone, hingga membeli mobil.
Disposable income ini seperti pisau bermata dua, di satu sisi menjadikan kelas menengah memiliki keleluasaan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, termasuk kebutuhan di luar basic needs. Tapi di sisi lain, adanya disposable income juga mendorong mereka mulai memiliki gaya hidup konsumtif.
Mereka mulai peka terhadap godaan-godaan iklan di TV. Mereka mulai gampang terpengaruh oleh rayuan diskon dan sale di mal. Celakanya, budaya konsumtif ini kemudian “difasilitasi” oleh beragam fasilitas kredit konsumsi dari bank atau lembaga pembiayaan.
Beli rumah menggunakan KPR dari bank. Beli mobil dan motor menggunakan fasilitas kredit dari lembaga pembiayaan cukup bayar uang muka Rp500.000. Beli TV flat terbaru atau furnitur di Index dicicil 12 bulan pakai kartu kredit. Kondisi inilah yang pelan tapi pasti kemudian membentuk budaya mengutang di kalangan konsumen kelas menengah. Istilah kerennya, budaya “buy now pay later”.
Kenapa konsumen kelas menengah saya sebut rapuh? Karena konsumen kelas menengah rentan terjebak dalam lingkaran budaya konsumtif mengutang seperti saya gambarkan di atas. Kalau kita miskin dan tak memiliki banyak disposable income, kita akan terbiasa hidup prihatin dengan mengerem konsumsi. Kita juga cenderung imun terhadap rayuan iklan dan diskon. Hal ini berbeda kalau kita sudah memiliki lumayan duit dan mulai mampu membeli barang-barang yang diiklankan di TV atau dipajang di mal.
Ketika duit mulai cukup di kocek, godaan untuk mengumbar gaya hidup konsumtif sulit terhindarkan. Ketika gaya hidup konsumtif sudah begitu mendarah daging, membeli dengan cara mengutang menjadi solusi cespleng. Dan ketika kombinasi budaya konsumtif mengutang ini sudah menjadi kanker yang sulit dijinakkan, maka bahaya default dan kebangkrutan akan mengintai setiap saat.
Saya berdoa semoga kelas menengah kita tetap prihatin dan cerdas membelanjakan uangnya, jangan sampai besar pasak daripada tiang. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar