Keberadaan industri di Indonesia, berbeda terbalik. Umumnya industri besar modern kita berbasis pradaban tradisional yang dimodernkan. Sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya (karya cipta, rasa, dan karsa manusia) tradisional sejak dulu, untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat kita telah banyak membangun industri kebudayaan di daerahnya (tradisional) masing-masing. Biasanya industri kecil menengah tradisional yang mampu menerobos pangsa pasar nasional, akan menjelma menjadi industri besar dan modern. Peluang mendapatkan keuntungan besar pun tercipta.
Biasanya fenomena seperti ini secara perlahan-lahan akan mengubah penyelenggaraan industrinya. Baik pemilik maupun teknologinya. Dari industri kecil menengah, menjadi industri besar modern yang diselenggarakan oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu industri kecil menengah yang mampu menerobos pasar nasional sebenarnya adalah ’petaka’. Karena pada umumnya eksistensi mereka secara tidak langsung akan 'dirampas' oleh industri besar modern.
Ambil contoh pengrajin batik misalnya. Setelah industri ini mampu menembus pangsa pasar nasional dan UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia—tehnik pembuatan karya ini, kian hari kian terus dikembangkan (menjadi modern). Maka konsekwensinya yang harus dirasakan oleh penggiat batik tradisional, seperti batik tulis Gajah Oling di Banyuwangi adalah keberadaannya akan terus tergilas gulung tikar oleh batik painting (Detik Surabaya 16/10/2009).
Saat ini industri batik memang dominan masih dikuasai kelompok usaha kecil menengah. Tetapi, suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar dan menjadi industri besar modern yang akan mematikan keberlangsungan industri kecil menengah.
Atau contoh lain, seperti industri jamu dan obat-obatan tradisional yang disuarakan Ketua GP Jamu Indonesia Charles Saerang misalnya. Mereka dikabarkan merugi hingga 90% dari total pendapatan per-bulan yang nilainya mencapai Rp 100 miliar dan terancam bangkrut dengan keberadaan industri modern jamu berbahan kimia (Liputan6.com 16/05/2006).
Dan kondisi itu pun semakin diperparah menjelang diterapkannya kebijakan pemerintah yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008, yang salah satu isinya mewajibkan industri rokok kecil memiliki tempat usaha minimal 200 meter persegi (Kompas.com 29/11/2011).
Atau contoh kecil lain yang mungkin luput dari perhatian kita, seperti terasi misalnya. Sebuah produk kebudayaan yang jelas dan sejak dulu ada dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional, kini keberadaannya terus digrogoti oleh industri besar modern terasi pabrikan. Sebut saja Markhamah seorang pemilik usaha industri kecil menengah terasi di Desa Ngaglik, Kecamatan Palang, Jawa Timur.
Ia mengaku, tak sebatang pun terasi produknya terkirim sebulan ini. Kondisi itu disebabkan oleh kondisi pasar yang makin tidak berpihak dan membanjirnya produk terasi pabrikan di pasaran (Kotatuban.com 17/08/2011). Belum lagi hantaman isu higienis yang kerapkali muncul dan dipropagandakan televisi atau media-media lain, pada industri tradisional. Masalah klasik seperti minimnya modal dan pengetahuan masyarakat, akhirnya menyebabkan mereka menyerah dan kalah pada jaman.
Semua itu hanyalah sedikit dari contoh kecil "perampasan-perampasan" industri kecil menengah kebudayaan tradisional masyarakat kecil menengah oleh pemilik modal besar di negeri kita. Naif memang. Tetapi begitulah realitas keberadaan industri kecil menengah yang mampu menembus pasar nasional di negeri kita. Industri kecil dan menengah karya masyarakat tradisional Indonesia, yang sejak dulu merupakan pendapatan ekonomi masyarakat kecil menengah, satu-persatu akan terus berubah menjadi industri besar dan modern, dan menjadi mesin pencetak uang pemilik modal besar.
Biasanya fenomena seperti ini secara perlahan-lahan akan mengubah penyelenggaraan industrinya. Baik pemilik maupun teknologinya. Dari industri kecil menengah, menjadi industri besar modern yang diselenggarakan oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu industri kecil menengah yang mampu menerobos pasar nasional sebenarnya adalah ’petaka’. Karena pada umumnya eksistensi mereka secara tidak langsung akan 'dirampas' oleh industri besar modern.
Ambil contoh pengrajin batik misalnya. Setelah industri ini mampu menembus pangsa pasar nasional dan UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia—tehnik pembuatan karya ini, kian hari kian terus dikembangkan (menjadi modern). Maka konsekwensinya yang harus dirasakan oleh penggiat batik tradisional, seperti batik tulis Gajah Oling di Banyuwangi adalah keberadaannya akan terus tergilas gulung tikar oleh batik painting (Detik Surabaya 16/10/2009).
Saat ini industri batik memang dominan masih dikuasai kelompok usaha kecil menengah. Tetapi, suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar dan menjadi industri besar modern yang akan mematikan keberlangsungan industri kecil menengah.
Atau contoh lain, seperti industri jamu dan obat-obatan tradisional yang disuarakan Ketua GP Jamu Indonesia Charles Saerang misalnya. Mereka dikabarkan merugi hingga 90% dari total pendapatan per-bulan yang nilainya mencapai Rp 100 miliar dan terancam bangkrut dengan keberadaan industri modern jamu berbahan kimia (Liputan6.com 16/05/2006).
Dan kondisi itu pun semakin diperparah menjelang diterapkannya kebijakan pemerintah yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008, yang salah satu isinya mewajibkan industri rokok kecil memiliki tempat usaha minimal 200 meter persegi (Kompas.com 29/11/2011).
Atau contoh kecil lain yang mungkin luput dari perhatian kita, seperti terasi misalnya. Sebuah produk kebudayaan yang jelas dan sejak dulu ada dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional, kini keberadaannya terus digrogoti oleh industri besar modern terasi pabrikan. Sebut saja Markhamah seorang pemilik usaha industri kecil menengah terasi di Desa Ngaglik, Kecamatan Palang, Jawa Timur.
Ia mengaku, tak sebatang pun terasi produknya terkirim sebulan ini. Kondisi itu disebabkan oleh kondisi pasar yang makin tidak berpihak dan membanjirnya produk terasi pabrikan di pasaran (Kotatuban.com 17/08/2011). Belum lagi hantaman isu higienis yang kerapkali muncul dan dipropagandakan televisi atau media-media lain, pada industri tradisional. Masalah klasik seperti minimnya modal dan pengetahuan masyarakat, akhirnya menyebabkan mereka menyerah dan kalah pada jaman.
Semua itu hanyalah sedikit dari contoh kecil "perampasan-perampasan" industri kecil menengah kebudayaan tradisional masyarakat kecil menengah oleh pemilik modal besar di negeri kita. Naif memang. Tetapi begitulah realitas keberadaan industri kecil menengah yang mampu menembus pasar nasional di negeri kita. Industri kecil dan menengah karya masyarakat tradisional Indonesia, yang sejak dulu merupakan pendapatan ekonomi masyarakat kecil menengah, satu-persatu akan terus berubah menjadi industri besar dan modern, dan menjadi mesin pencetak uang pemilik modal besar.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar